Asosiasi Sopir Pariwisata Bali

  • parade
  • sunset
  • tree
  • aspaba-bedugung-temple
  • aspaba-rice-terrace
  • aspaba-tanahlot

Archive for the ‘Budaya Bali’ Category

Penjor, Ungkapan Syukur atas Kehidupan dan Keselamatan

oleh aspaba · Budaya Bali

Oleh: Agung Bawantara

Penjor adalah sebatang bambu utuh dari pangkal hingga ujung yang dihias dengan pucuk enau atau janur yang diukir. Pada batang bambu tersebut juga digantungkan berbagai jenis hasil bumi yakni padi, pala bungkah (umbi-umbian), pala gantung (kelapa, mentimun, pisang, nanas), pala wija (jagung), kue dan tebu. Pada ujung bambu, digantungkan sampyan, yakni sebuah rakitan janur berbentuk seperti cupu dengan beraneka bunga dan porosan di dalamnya. Porosan adalah setangkup sirih pinang yang dikemas dengan potongan janur sepanjang ruas jari. Sebagai pelengkap, pada lengkungan penjor juga digantungkan dua lembar kecil kain berwarna putih dan kuning serta sebelas uang kepeng. Selengkapnya »

Lamak, Simbol Pijakan Menuju Kesejatian

oleh aspaba · Budaya Bali

Oleh : Agung Bawantara

Lamak adalah semacam taplak dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan di ruang-ruang kecil pada bangunan-bangunan Pura di Bali yang dinamakan dengan palinggih sebagai alas untuk meletakkan bebanten (sajian persembahan). Dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno), kata lamak memang berarti alas. Penggunaan lamak sebagai alas sesajen umumnya pada hari-hari besar atau upacara-upacara penting Hindu di Bali.

Selain sebagai alas persembahan, lamak juga di pasang pada penjor. Penjor adalah kelengkapan upacara di Bali yakni sebatang bambu utuh (dari pangkal hingga ujung) yang dihias dengan daun enau muda atau janur lalu dilengkapi dengan berbagai hasil bumi berupa padi, palawija dan buah.

Dalam sebuah lamak terdapat berbagai ornamen keagamaan seperti gunungan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya. Semua itu melambangkan alam semesta yang menjadi pijakan kita menapaki hidup dalam sebuah pusaran waktu menuju ke Kesejatian.

Dari sudut lain, dalam sebuah tulisannya yang menguls tentang penjor, Ida Bhagawan Dwija mengatakan bahwa lamak merupakan simbol dari Reg Weda, yakni bagian dari kitab suci Hindu yang mengajarkan tentang mantra-mantra pemujaan. Sayang Bhagawan Dwija tak mengelaborasinya lebih detil.

Keterangan Foto:
Dari kiri ke kanan, tiga foto pertama di atas menggambarkan beberapa lelaki Bali bersama-sama membuat lamak dalam ukuran panjang, lalu beberapa perempuan melanjutkannya dengan memberi ornamen. Foto terakhir menunjukkan proses pembuatan Penjor Agung, yakni penjor yang berukuran besar. Tingginya bisa mencapai 10-15 meter.

Semua foto di atas adalah karya I Made Widnyana Sudibia.

Arsitektur Bali, Berdasar Putaran Semesta & Sistem Adat

oleh aspaba · Budaya Bali

Oleh : Agung Bawantara

Arsitektur Tradisional Bali berangkat dari konsep penataan ruang sebagai tempat kehidupan masyarakat Bali. Penataan letak, bentuk dan fungsi bangunan tradisional tersebut sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali yang. Adat istiadat, kepercayaan dan sistem religi sangat kuat memengaruhi pola arsitektur tradisonal Bali ini.

Konsep arsitektur tradisional Bali telah berkembang secara turun-temurun sejak berabad-abad lampau. Pedoman dasarnya tersurat pada beberapa lontar antara lain lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Patali. Namun pada prakteknya pola tata ruang tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi (ahli pembuat banguan Bali) mengikuti pergerakan keadaan yang terus berganti. Kini, meski situasi dan kondisi ruang di Bali telah berubah sedemikian hebat, pedoman-pedoman tersebut tetap diacu sebagai dasar pembuatan bangunan tradisional Bali.

Ada beberapa hal yang mendasari konsep arsituktur Bali antara lain orientasi kosmologi (Sanga Mandala), keseimbangan kosmologi (Manik Ring Cacupu), hirarki ruang (Triloka dan Tri Angga). Di antara semua itu, orientasi kosmologi (Sanga Mandala) dianggap sebagai acuan paling dasar. Sanga Mandala adalah konsep pembagian ruang berdasarkan keyakinan akan posisi para Dewa di semesta raya. Konsep ini membagi ruang menjadi sembilan, sebagaimana kompas membagi arah mata angin.

Selanjutnya, dasar keseimbangan kosmologi yang diistilahkan dengan manik ring cacupu. Dalam Bahasa Bali, istiah “manik ring cacupu” mengandung pengertian sebuah mustika (permata mulia) berada di dalam sebuah cupu atau kendi kecil yang terbuat dari logam. Hal ini mengibaratkan semua kekuatan kosmologi memusat ke arah sebuah bangunan atau kompleks bangunan tradisional Bali.

Dasar keseimbangan kosmpologi ini berpegang pada tiga poros penting yaitu: Poros Tri Loka yang membagi ruang menjadi tiga yakni Bhur Loka (alam manusia), Bwah Loka (alam Dewa), dan Swah Loka (alam Tuhan); Poros Ritual sebagai kiblat upacara yakni Timur (arah matahari terbit) dan Barat (arah matahari terbenam); serta Poros Natural berdasarkan letak gunung (utara) dan laut (Selatan).

Semua hal di atas menjiwai penataan ruang-ruang di Bali, yang kemudian hirarkinya disusun berdasarkan Tri Angga, yaitu sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali yang membagi ruang menjadi zona Utama yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi. Dalam tubuh manusia, ruang ini sejajar dengan kepala.

Dua zona berikutnya adalah Zona Madya, yang terletak di tengah (badan) dan Zona Nista, yang terletak di bagian bawah (kaki).

Dasar lainnya adalah dimensi tradisional, serta dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia. Misalnya, Saastha, yakni ukuran panjang berdasarkan jarak antara sikut hingga pergelangan tangan. Atau Atapak, yakni ukuran panjang berdasarkan jarak ujung jari kaki hingga bagian belakang tumit. Skala-skala lainnya adalah Atapak Ngandang, Agemel, Acengkang, Aguli, Akacing, Amusti, Adepa, Anyari, Alek, Auseran, Duang Nyari, Adepa, Adepa Agung, dan Atampak Lima. Karena semua ukuran didasarkan pada ukuran organ tubuh, maka orang Bali biasanya mencari undagi dengan proporsi tubuh yang bagus. Mereka enggan menggunakan undagi yang bertubuh tambun karena hasil bangunan yang dibuat cenderung pendek dan melebar.

 


Alek

Akacing

Aguli

Agemel

Acengkang

Atengan Depa Alit

Atengan Depa agung

Auseran

Atapak

Amusti

Atapak Lima

Sahasta

Petang Nyari

Duang Nyari

Sumber :
– Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber.
– ilustrasi : http://www.babadbali.com/astakosalakosali/astakosala.html

Lebih Detil Tentang Subak: Berbagi Air, Berbagi Kebahagiaan

oleh aspaba · Budaya Bali

Oleh : Prof. I Gde Pitana

Subak merupakan or- ganisasi petani di Bali yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan awig-awig (aturan-aturan keorganisasian), baik tertulis maupun tak tertulis. Subak memiliki sumber air bersama. Sumber air bersama ini dapat berupa empelan (bendungan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi yang melingkupi beberapa subak.

Sebuah Subak mempunyai satu areal persawahan. Di hulunya terdapat sebuah atau beberapa Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.

Di seluruh Bali, terdapat tak kurang dari 1274 Subak. Semuanya didasari oleh ajaran Tri Hita Karana yang mengajarkan agar setiap orang selalu mengupayakan keseimbangan antara pengabdian manusia kepada Tuhan (Parahyangan) dengan pelayanan mereka terhadap sesame manusia (Pawongan), serta kecintaan merawat alam lingkungan (Palemahan) agar tetap lestari.

Sistem irigasi Subak mempunyai fasilitas fisik yang mirip dengan fasiitas irigasi yang dimiliki oleh system irigasi lain. Protitipe sistem fisik subak antara lain terdiri atas:
– empelan (bendungan) yang berfungsi sebagai bangunan pengambilan air dari sumbernya
– aungan (terowongan)
– telabah (saluran primer)
– tembuku aya (bangunan bagi primer)
– telabah gede (saluran sekunder)
– tembuku gede (saluran bagi sekunder)
– telabah pemaron (saluran tersier)
– tembuku pemaron (bangunan bagi tersier)
– telabah penyahcah (saluran kuarter)
– tembuku penyahcah (bangunan bagi kuarter) terdiri dari penasan untuk sepuluh anggota (kanca)
– tembuku pengalapan (bangunan pemasukan air individual)
– talikunda (saluran individual)

Subak juga mempunyai beberapa bangunan pelengkap seperti penguras (flushing), pekiuh (over flow) dan petaku (bangunan air terjun). Abangan (talang) juga umum ditemui pada subak. Demikian juga jengkawung (gorong-gorong).

Umumnya Subak mempunyai saluran pembuangan khusus. Air buangan dari satu petak sawah akan disalurkan kembali ke saluran irigasi.

Di samping fasilitas yang secara langsung digunakan untuk kepentingan irigasi, Subak juga mempunyai fasilitas upacara keagamaan berupa pura subak dengan berbagai tingkatan. Pura Subak yang paling umum adalah Pura Bedugul.

Di daerah-daerah Bangli dan Gianyar dikenal pura-pura Masceti yang disungsung (disokong dan dihidupi) oleh sejumlah subak dalam satu wilayah tertentu. Pura Subak biasanya dilengkapi pula dengan Balai Timbang. Di samping pura subak, umumnya setiap petani anggota Subak juga mempunyai sanggah-sanggah pengalapan yakni bangunan kecil untuk sarana sembahyang yang ditempatkan di dekat bangunan pemasukan air ke sawah masing-masing (tembuku pengalapan). Tempat persembahyangan ini dikenal juga dengan sebutan sanggah catu pengalapan.

Kelembagaan
Subak adalah organisasi petani yang bergerak dalam pengaturan air irigasi lahan basah (sawah). Karena faktor pengikat utamnya adalah air irigasi, maka anggota suatu subak adalah petani pemilik atau penggarap sawah yang dilayani oleh suatu jaringan atau sub jaringan irigasi tertentu, tidak memandang dari desa mana anggota tersebut berasal. Dengan kata lain, subak adalah organisasi petani yang canal based bukan village based.

Anggota suatu subak bisa berasal dari berbagai desa dan seorang petani dapat menjadi anggota beberapa subak. Walau ditemui adanya beberapa variasi tentang status keanggotaan dalam subak, secara umum anggota subak yang diistilahkan dengan karma subak dibedakan dalam tiga kelompok.
1. Krama pengayah (anggota aktif) yaitu anggota subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak seperti gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak, upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, dan rapat-rapat subak. Di beberapa subak, anggota ini disebut juga karma pekaseh atau sekaa yeh.
2. Krama Pengempel atau Krama Pengoot (anggota pasif) yaitu anggota subak yang karena alas an-alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalamkegiatan-kegiatan (ayahan subak). Sebagai gantinya anggota ini membayar dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel. Besarnya pengoot ini biasanya disepakati dalam rapat subak menjelang musim tanam. Persyaratan untuk dapat menjadi anggota pasif bervariasi antar subak.

3. Krama Leluputan (anggota khusus), yaitu anggota subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku (pinandita di sebuah pura), bendesa adat (pimpinan desa adat), perbekel (kepala desa), ataupun sulinggih (pendeta, peranda, Sri Mpu, dan lain-lain).

Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai unsur pimpinan yang disebut prajuru. Pada subak yang kecil struktur organsisi subak umumnya sangat sederhana yaitu terdiri dari anggota yang diketuai oleh satu orang ketua subak yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan pada subak-subak yang lebih besar, prajuru (pengurus) terdiri dari Pekaseh (ketua Subak), Petajuh (wakil pekaseh), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), dan Saya (pembantu khusus).

Prajuru subak, Kecuali Juru Arah dan Saya, dipilih oleh anggota subak dalam suatu rapat yang diadakan khusus untuk itu, untuk masa jabatan tertentu. Biasanya lima tahun. Sedangkan juru arah dan saya biasanya dijabat secara bergantian oleh anggota subak dengan masa tugas 35 hari atau 210 hari. Kedua perioda tersebut masing-masing satu bulan dan enam bulan menurut perhitungan penanggalan tradisional Bali.

Subak-subak yang besar biasanya terbagi menjadi sub subak yang disebut dengan Tempek. Di wilayah Badung, Tempek disebut dengan Munduk, sedangkan di Buleleng disebut Banjaran. Tempek atau Munduk atau Banjaran dipimpin oleh seorang kelihan yang didampingi oleh penyarikan (sekretaris) dan juru raksa (bendahara).

Untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti koordinasi dalam distribusi air dan upacara pada suatu pura, beberapa subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu wadah koordinasi yang disebut Subak Gede. Subak-subak yang menjadi anggota Subak Gede umumnya berada dalam satu kawasan irigasi. Namun, ada pula Subak Gede yang anggotanya adalah subak-subak yang memiliki sistem irigasinya masing-masing. Subak Gede dipimpin oleh Pekaseh Gede. Lebih jauh lagi, untuk tujuan koordinasi dalam kegiatan-kegiatan subak di sepanjang suatu aliran sungai, beberapa subak membentuk organisasi federasi subak yang disebut Subak Agung yang dipimpin oleh seorang Sedahan Agung.

Seluruh sistem organisasi subak tersebut dirancang dan diwarisi secara turun-temurun oleh masayarakat petani di Bali untuk kelancaran pembagian air di lahan persawahan yang merupakan penyangga utama kehidupan masyarakat dan adat istiadat di selama berabad-abad. Ya, sistem pembagian air itu merupakan cara bersama untuk berbagi kebahagiaan.

Sumber: “Subak Sitem Irigasi Tradisional di Bali”, Upada sastra , 1993.

Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali

oleh aspaba · Budaya Bali

Subak adalah suatu masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam menyebabkan sumber air untuk suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh. Kadang-kadang untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak.

Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (awig-awig) yang disusun secara egaliter. Saat irigasi berjalan baik, mereka menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama. Jadwal tanam dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi.

Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek/blok sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti:

– saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait
– melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama,
– melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu blok/kompleks sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya

Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak. Dengan demikian distribusi air berjalan secara adil.

Setiap Subak memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan, Dewi Sri.

Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan.

Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.

Para ilmuwan yang meneliti Subak antara lain Clifford Geertz dan J. Stephen Lansing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.