Asosiasi Sopir Pariwisata Bali

  • parade
  • sunset
  • tree
  • aspaba-bedugung-temple
  • aspaba-rice-terrace
  • aspaba-tanahlot

Archive for the ‘Gianyar’ Category

Pura Gunung Raung, Dari Sebuah Pohon Bercahaya

oleh aspaba · Gianyar

Oleh: Agung Bawantara

Ini salah satu pura tertua di Bali. Letaknya di Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini erat sekali kaitannya dengan perjalanan Rsi Markandya, seorang resi dari Pasraman Gunung Raung, Jawa Timur, ke Bali untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah terlebih dahulu mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, selanjutnya Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa.

Tentang perjalanan Rsi Markandya pada abad ke-8 itu, menurut lontar Bali Tatwa, mulanya Sang Resi berasrama di Damalung, Jawa Timur. Selanjutnya, beliau mengadakan tirthayatra (perjalanan suci) ke arah timur hingga ke Gunung Hyang (Dieng). Tak ada tempat ideal yang ia temukan sebagai pasraman dalam perjalanan suci tersebut. Resi Markandya pun melanjutkan perjalanannya ke arah timur hingga tiba di Gunung Raung, Jawa Timur. Di tempat inilah beliau membangun asrama dan melakukan pertapaan.

Suatu hari, dalam samadinya, beliau mendapatkan petunjuk agar meneruskan perjalanan ke arah timur lagi, yakni ke Pulau Bali. Petunjuk itu pun dilaksanakannya. Diiringi 800 pengikut, beliau melanjutkan perjalanan sucinya ke Bali.

Tiba di sebuah tempat yang berhutan lebat di lambung Gunung Agung, Rsi Markandya berkemah dan membuka areal pertanian. Namun, para pengikut beliau terkena wabah penyakit hingga sebagian di antaranya meninggal dunia. Hanya sekitar 400 pengikut saja yang tersisa.

Melihat keadaan itu, Resi Markandya kembali ke Jawa Timur untuk bersamadi dan memohon petunjuk. Tuhan yang menampakkan dirinya sebagai Sang Hyang Pasupati kemudian hadir dan memberi tahu Sang Rsi bahwa kesalahannya adalah tidak melakukan ritual dan mempersembahkan sesaji untuk mohon izin saat hendak merambah hutan. Mendapat keterangan demikian, Resi Markandya kembali menuju Bali dan terus menuju Gunung Agung (Ukir Raja). Saat itu beliau diring oleh para pengikut yang disebut Wong Age.

Setiba di Gunung Agung, Rsi Markandya mengadakan upacara dengan menanam Panca Datu yaitu lima jenis logam (emas, perak, besi, perunggu, timah) yang merupakan simbolis dari kekuatan alam semesta. Di tempat pelaksanaan ritual dan pemendaman panca datu tersebut kemudian didirikan pura yang dinamakan Pura Basukian yang menjadi cikap bakal berdirinya kompleks Pura Besakih.

Setelah itu memendam panca datu dan melakukan ritual lainnya, barulah kemudian Sang Rsi memerintahkan pengikutnya untuk membuka lahan pertanian menurun hingga ke Gunung Lebah di Ubud. Sampai di sebuah lahan yang cukup strategis, beliau mengadakan penataan seperti pembagian lahan untuk perumahan dan pertaian untuk para pengikutnya. Desa itu kemudian dinamakan Desa Puakan.

Selanjutnya, Rsi Markadya juga memerintahkan sebagian pengikutnya membuka lahan hingga ke sebuah tempat yang subur yang dinamakan Desa Sarwa Ada. Di sana beliau juga melakukan penataan dan pembagian lahan bagi para pengikutnya. Dan, setelah semua pengikutnya mendapatkan lahan untuk melanjutkan dan mengembangkan kehidupannya, beliau kemudian membangun sebuah pasraman yang serupa dengan pasramannya di Gunung Raung, Jawa Timur. Entah kenapa, pada saat itu kembali Resi Markandya mendapatkan banyak gangguan dan kesulitan.

Seperti sebelumnya, Rsi Markandya kembali ke Jawa Timur dan mengadakan samadi. Tak ada petunjuk apa pun yang beliau peroleh selain perintah untuk kembali melakukan samadi di pasraman beliau di Bali. Ketika petunjuk itu beliau turuti, Rsi Markandya melihat seberkas sinar cemerlang memancar dari sebuah tempat. Ketika didekatinya, sinar tersebut berasal dari sebatang pohon. Di pokok pohon yang menyala itulah Rsi Markandya mendirikan pura yang sekarang dinamakan Pura Gunung Raung.

Pura dengan pohon yang bersinar tersebut menjadi pusat desa. Karenanya, desa tersebut dinamakan Desa Taro. Taro berasal dari kata ”taru” yang berarti pohon. Sedangkan nama pura dan pasramannya sama dengan nama sebelumnya yakni Gunung Raung.

Sebelumnya, di Desa Taro, hidup sapi putih yang dipercayai oleh masyarakat setempat sebagai keturunan Lembu Nandini (Tunggangan Dewa Siwa). Sapi putih itu dikeramatkan oleh penduduk di Desa Taro. Dang Hyang Markandya adalah seorang resi yang menganut paham Waisnawa, namun dengan membiarkan masyarakat tetap mengeramatkan sapi putih itu, menunjukan bahwan beliau menghormati keberadaan paham Siwaisme yang sudah sempat tumbuh dan berkembang di Taro.

sumber: I Ketut Gobyah (http://www.balipost.co.id) dan beberapa sumber lainnya.

Lagi, Setelah 380 Tahun Tidak Diselenggarakan di Taro

oleh aspaba · Gianyar

Oleh: Agung Bawantara

Upacara ini berlangsung setiap sepuluh tahun sekali. Namanya Panca Bali Krama. Yang kerap diberitakan, di Bali, upacara ini diselenggarakan di Pura Agung Besakih (Karangasem) dan Pura Agung Ulun Danu Batur (Bangli). Namun kali ini, Panca Bali Krama diselenggarakan di Pura Agung Gunung Raung, Taro, Tegallalang, Gianyar. Rangkaian upacara ini berlangsung selama hampir sebulan penuh. Diawali dengan prosesi nunas tirta (mohon air suci) di tiga gunung di Jawa Timur yakni Gunung Semeru, Gunung Bromo dan Gunung Raung (9/3), Melasti ke pantai Purnama Sukawati, Gianyar (13/3), Tawur Agung (20/3), Pucak Karya atau upacara puncak (23/3) hingga Nyineb Karya atau penutupan upacara pada Rabu, 4 April 2011.

Tentang Pura Gunung Raung, ini adalah pura yang dibangun oleh Rsi Markandya pendiri ashram di Damalung, Jawa Timur, yang kemudian datang ke Bali pada abad ke-8 untuk menyebarkan ajaran Sanatana Dharma (Kebenaran Abadi) yang kini dikenal dengan sebutan Hindu Dharma.

Setelah mengawali langkahnya dengan mendirikan Pura Basukian di Besakih, Rsi Markandya membangun pasraman (semacam pesantrian) di Taro. Pasraman inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Pura Gunung Raung di Desa Taro tersebut.

Di desa Taro, Pura Gunung Raung ini terletak persis di tengah-tengah desa dan menjadi pembatas Banjar Taro Kaja (utara) dan Banjar Taro Kelod (selatan). Ini adalah sesuatu yang unik, sebab pada umumnya letak pura di Desa Kuno di Bali adalah di daerah hulu dan di daerah hilir desa. Riwayat perjalanan Sang Rsi hingga mendirikan Pura Gunung Raung ini tercatat dalam lontar Bali Tatwa yang sudah mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Dipadati Umat

Selama sebulan, setiap hari ratusan umat Hindu dari seluruh Bali datang untuk bersembahyang. Ada yang datang pagi hari bersamaan dengan upacara Penganyar yang diselenggarakan setiap pagi, ada pula yang datang pada siang, sore bahkan malam hari.

Pada Pucak Karya atau upacara puncak yang digelar pada Rabu (23/3) yang lalu, prosesi upacara dan persembahyangan dipimpin oleh lima sulinggih yakni Ida Pedanda Gede Putra Tembau (Griya Gede Aan), Ida Pedanda Gede Putra Bajing (Griya Tegal Jingga Denpasar), Ida Pedanda Gede Jelantik Karang (Griya Buda Keling, Karangasem), Ida Pedanda Made Gunung (Blahbatuh), dan Ida Pedanda Nyoman Jelantik Dwija (Griya Buda Keling, Karangasem).

Sebelum upacara penutupan pada 3 April 2011 yang ditandai dengan prosesi Rsi Bujana dan Nyineb Ida Bhatara, pada tanggal 30 Maret diselenggarakan beberapa upacara terkait yakni Nyenuk, Nangun Ayu, dan Pengusaban ring Bale Agung. Sedangkan pada tanggal 10 April akan diselenggarakan upacara Nyegara Gunung sebagai rangkaian akhir dari upacara Panca Bali Krama.

Di Pura Gunung Raung Taro, terakhir kali upacara serupa diselenggarakan 380 tahun yang lalu. Hingga saat ini belum ada penjelasan resmi mengapa upacara ini begitu lama tidak diselenggarakan di pura tersebut.

Catatan: Foto-foto karya I Made Widnyana Sudibia