Asosiasi Sopir Pariwisata Bali

  • parade
  • sunset
  • tree
  • aspaba-bedugung-temple
  • aspaba-rice-terrace
  • aspaba-tanahlot

Lamak, Simbol Pijakan Menuju Kesejatian

oleh aspaba · Budaya Bali
No Comments »

Oleh : Agung Bawantara

Lamak adalah semacam taplak dari daun enau yang dirajut dengan lidi bambu. Lamak ditempatkan di ruang-ruang kecil pada bangunan-bangunan Pura di Bali yang dinamakan dengan palinggih sebagai alas untuk meletakkan bebanten (sajian persembahan). Dalam Bahasa Kawi (Jawa Kuno), kata lamak memang berarti alas. Penggunaan lamak sebagai alas sesajen umumnya pada hari-hari besar atau upacara-upacara penting Hindu di Bali.

Selain sebagai alas persembahan, lamak juga di pasang pada penjor. Penjor adalah kelengkapan upacara di Bali yakni sebatang bambu utuh (dari pangkal hingga ujung) yang dihias dengan daun enau muda atau janur lalu dilengkapi dengan berbagai hasil bumi berupa padi, palawija dan buah.

Dalam sebuah lamak terdapat berbagai ornamen keagamaan seperti gunungan, cili-cilian, bulan, bintang, matahari dan sebagainya. Semua itu melambangkan alam semesta yang menjadi pijakan kita menapaki hidup dalam sebuah pusaran waktu menuju ke Kesejatian.

Dari sudut lain, dalam sebuah tulisannya yang menguls tentang penjor, Ida Bhagawan Dwija mengatakan bahwa lamak merupakan simbol dari Reg Weda, yakni bagian dari kitab suci Hindu yang mengajarkan tentang mantra-mantra pemujaan. Sayang Bhagawan Dwija tak mengelaborasinya lebih detil.

Keterangan Foto:
Dari kiri ke kanan, tiga foto pertama di atas menggambarkan beberapa lelaki Bali bersama-sama membuat lamak dalam ukuran panjang, lalu beberapa perempuan melanjutkannya dengan memberi ornamen. Foto terakhir menunjukkan proses pembuatan Penjor Agung, yakni penjor yang berukuran besar. Tingginya bisa mencapai 10-15 meter.

Semua foto di atas adalah karya I Made Widnyana Sudibia.

Arsitektur Bali, Berdasar Putaran Semesta & Sistem Adat

oleh aspaba · Budaya Bali
No Comments »

Oleh : Agung Bawantara

Arsitektur Tradisional Bali berangkat dari konsep penataan ruang sebagai tempat kehidupan masyarakat Bali. Penataan letak, bentuk dan fungsi bangunan tradisional tersebut sangat terkait dengan sikap dan pandangan hidup masyarakat Bali yang. Adat istiadat, kepercayaan dan sistem religi sangat kuat memengaruhi pola arsitektur tradisonal Bali ini.

Konsep arsitektur tradisional Bali telah berkembang secara turun-temurun sejak berabad-abad lampau. Pedoman dasarnya tersurat pada beberapa lontar antara lain lontar Asta Kosala-Kosali dan Asta Patali. Namun pada prakteknya pola tata ruang tersebut mengalami penyesuaian-penyesuaian oleh para undagi (ahli pembuat banguan Bali) mengikuti pergerakan keadaan yang terus berganti. Kini, meski situasi dan kondisi ruang di Bali telah berubah sedemikian hebat, pedoman-pedoman tersebut tetap diacu sebagai dasar pembuatan bangunan tradisional Bali.

Ada beberapa hal yang mendasari konsep arsituktur Bali antara lain orientasi kosmologi (Sanga Mandala), keseimbangan kosmologi (Manik Ring Cacupu), hirarki ruang (Triloka dan Tri Angga). Di antara semua itu, orientasi kosmologi (Sanga Mandala) dianggap sebagai acuan paling dasar. Sanga Mandala adalah konsep pembagian ruang berdasarkan keyakinan akan posisi para Dewa di semesta raya. Konsep ini membagi ruang menjadi sembilan, sebagaimana kompas membagi arah mata angin.

Selanjutnya, dasar keseimbangan kosmologi yang diistilahkan dengan manik ring cacupu. Dalam Bahasa Bali, istiah “manik ring cacupu” mengandung pengertian sebuah mustika (permata mulia) berada di dalam sebuah cupu atau kendi kecil yang terbuat dari logam. Hal ini mengibaratkan semua kekuatan kosmologi memusat ke arah sebuah bangunan atau kompleks bangunan tradisional Bali.

Dasar keseimbangan kosmpologi ini berpegang pada tiga poros penting yaitu: Poros Tri Loka yang membagi ruang menjadi tiga yakni Bhur Loka (alam manusia), Bwah Loka (alam Dewa), dan Swah Loka (alam Tuhan); Poros Ritual sebagai kiblat upacara yakni Timur (arah matahari terbit) dan Barat (arah matahari terbenam); serta Poros Natural berdasarkan letak gunung (utara) dan laut (Selatan).

Semua hal di atas menjiwai penataan ruang-ruang di Bali, yang kemudian hirarkinya disusun berdasarkan Tri Angga, yaitu sistem pembagian zona atau area dalam perencanaan arsitektur tradisional Bali yang membagi ruang menjadi zona Utama yang diposisikan pada kedudukan yang paling tinggi. Dalam tubuh manusia, ruang ini sejajar dengan kepala.

Dua zona berikutnya adalah Zona Madya, yang terletak di tengah (badan) dan Zona Nista, yang terletak di bagian bawah (kaki).

Dasar lainnya adalah dimensi tradisional, serta dimensi tradisional Bali yang didasarkan pada proporsi dan skala manusia. Misalnya, Saastha, yakni ukuran panjang berdasarkan jarak antara sikut hingga pergelangan tangan. Atau Atapak, yakni ukuran panjang berdasarkan jarak ujung jari kaki hingga bagian belakang tumit. Skala-skala lainnya adalah Atapak Ngandang, Agemel, Acengkang, Aguli, Akacing, Amusti, Adepa, Anyari, Alek, Auseran, Duang Nyari, Adepa, Adepa Agung, dan Atampak Lima. Karena semua ukuran didasarkan pada ukuran organ tubuh, maka orang Bali biasanya mencari undagi dengan proporsi tubuh yang bagus. Mereka enggan menggunakan undagi yang bertubuh tambun karena hasil bangunan yang dibuat cenderung pendek dan melebar.

 


Alek

Akacing

Aguli

Agemel

Acengkang

Atengan Depa Alit

Atengan Depa agung

Auseran

Atapak

Amusti

Atapak Lima

Sahasta

Petang Nyari

Duang Nyari

Sumber :
– Tulisan ini dirangkum dari berbagai sumber.
– ilustrasi : http://www.babadbali.com/astakosalakosali/astakosala.html

Lebih Detil Tentang Subak: Berbagi Air, Berbagi Kebahagiaan

oleh aspaba · Budaya Bali
No Comments »

Oleh : Prof. I Gde Pitana

Subak merupakan or- ganisasi petani di Bali yang mengelola air irigasi untuk anggota-anggotanya. Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai pengurus dan awig-awig (aturan-aturan keorganisasian), baik tertulis maupun tak tertulis. Subak memiliki sumber air bersama. Sumber air bersama ini dapat berupa empelan (bendungan) di sungai, mata air, air tanah, ataupun saluran utama suatu sistem irigasi yang melingkupi beberapa subak.

Sebuah Subak mempunyai satu areal persawahan. Di hulunya terdapat sebuah atau beberapa Pura Bedugul atau pura yang berhubungan dengan persubakan.

Di seluruh Bali, terdapat tak kurang dari 1274 Subak. Semuanya didasari oleh ajaran Tri Hita Karana yang mengajarkan agar setiap orang selalu mengupayakan keseimbangan antara pengabdian manusia kepada Tuhan (Parahyangan) dengan pelayanan mereka terhadap sesame manusia (Pawongan), serta kecintaan merawat alam lingkungan (Palemahan) agar tetap lestari.

Sistem irigasi Subak mempunyai fasilitas fisik yang mirip dengan fasiitas irigasi yang dimiliki oleh system irigasi lain. Protitipe sistem fisik subak antara lain terdiri atas:
– empelan (bendungan) yang berfungsi sebagai bangunan pengambilan air dari sumbernya
– aungan (terowongan)
– telabah (saluran primer)
– tembuku aya (bangunan bagi primer)
– telabah gede (saluran sekunder)
– tembuku gede (saluran bagi sekunder)
– telabah pemaron (saluran tersier)
– tembuku pemaron (bangunan bagi tersier)
– telabah penyahcah (saluran kuarter)
– tembuku penyahcah (bangunan bagi kuarter) terdiri dari penasan untuk sepuluh anggota (kanca)
– tembuku pengalapan (bangunan pemasukan air individual)
– talikunda (saluran individual)

Subak juga mempunyai beberapa bangunan pelengkap seperti penguras (flushing), pekiuh (over flow) dan petaku (bangunan air terjun). Abangan (talang) juga umum ditemui pada subak. Demikian juga jengkawung (gorong-gorong).

Umumnya Subak mempunyai saluran pembuangan khusus. Air buangan dari satu petak sawah akan disalurkan kembali ke saluran irigasi.

Di samping fasilitas yang secara langsung digunakan untuk kepentingan irigasi, Subak juga mempunyai fasilitas upacara keagamaan berupa pura subak dengan berbagai tingkatan. Pura Subak yang paling umum adalah Pura Bedugul.

Di daerah-daerah Bangli dan Gianyar dikenal pura-pura Masceti yang disungsung (disokong dan dihidupi) oleh sejumlah subak dalam satu wilayah tertentu. Pura Subak biasanya dilengkapi pula dengan Balai Timbang. Di samping pura subak, umumnya setiap petani anggota Subak juga mempunyai sanggah-sanggah pengalapan yakni bangunan kecil untuk sarana sembahyang yang ditempatkan di dekat bangunan pemasukan air ke sawah masing-masing (tembuku pengalapan). Tempat persembahyangan ini dikenal juga dengan sebutan sanggah catu pengalapan.

Kelembagaan
Subak adalah organisasi petani yang bergerak dalam pengaturan air irigasi lahan basah (sawah). Karena faktor pengikat utamnya adalah air irigasi, maka anggota suatu subak adalah petani pemilik atau penggarap sawah yang dilayani oleh suatu jaringan atau sub jaringan irigasi tertentu, tidak memandang dari desa mana anggota tersebut berasal. Dengan kata lain, subak adalah organisasi petani yang canal based bukan village based.

Anggota suatu subak bisa berasal dari berbagai desa dan seorang petani dapat menjadi anggota beberapa subak. Walau ditemui adanya beberapa variasi tentang status keanggotaan dalam subak, secara umum anggota subak yang diistilahkan dengan karma subak dibedakan dalam tiga kelompok.
1. Krama pengayah (anggota aktif) yaitu anggota subak yang secara aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan subak seperti gotong royong pemeliharaan dan perbaikan fasilitas subak, upacara-upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, dan rapat-rapat subak. Di beberapa subak, anggota ini disebut juga karma pekaseh atau sekaa yeh.
2. Krama Pengempel atau Krama Pengoot (anggota pasif) yaitu anggota subak yang karena alas an-alasan tertentu tidak terlibat secara aktif dalamkegiatan-kegiatan (ayahan subak). Sebagai gantinya anggota ini membayar dengan sejumlah beras (atau uang) yang disebut pengoot atau pengampel. Besarnya pengoot ini biasanya disepakati dalam rapat subak menjelang musim tanam. Persyaratan untuk dapat menjadi anggota pasif bervariasi antar subak.

3. Krama Leluputan (anggota khusus), yaitu anggota subak yang dibebaskan dari berbagai kewajiban subak, karena yang bersangkutan memegang jabatan tertentu di dalam masyarakat seperti pemangku (pinandita di sebuah pura), bendesa adat (pimpinan desa adat), perbekel (kepala desa), ataupun sulinggih (pendeta, peranda, Sri Mpu, dan lain-lain).

Sebagai suatu organisasi, subak mempunyai unsur pimpinan yang disebut prajuru. Pada subak yang kecil struktur organsisi subak umumnya sangat sederhana yaitu terdiri dari anggota yang diketuai oleh satu orang ketua subak yang disebut kelihan subak atau pekaseh. Sedangkan pada subak-subak yang lebih besar, prajuru (pengurus) terdiri dari Pekaseh (ketua Subak), Petajuh (wakil pekaseh), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), dan Saya (pembantu khusus).

Prajuru subak, Kecuali Juru Arah dan Saya, dipilih oleh anggota subak dalam suatu rapat yang diadakan khusus untuk itu, untuk masa jabatan tertentu. Biasanya lima tahun. Sedangkan juru arah dan saya biasanya dijabat secara bergantian oleh anggota subak dengan masa tugas 35 hari atau 210 hari. Kedua perioda tersebut masing-masing satu bulan dan enam bulan menurut perhitungan penanggalan tradisional Bali.

Subak-subak yang besar biasanya terbagi menjadi sub subak yang disebut dengan Tempek. Di wilayah Badung, Tempek disebut dengan Munduk, sedangkan di Buleleng disebut Banjaran. Tempek atau Munduk atau Banjaran dipimpin oleh seorang kelihan yang didampingi oleh penyarikan (sekretaris) dan juru raksa (bendahara).

Untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti koordinasi dalam distribusi air dan upacara pada suatu pura, beberapa subak dalam suatu wilayah bergabung dalam suatu wadah koordinasi yang disebut Subak Gede. Subak-subak yang menjadi anggota Subak Gede umumnya berada dalam satu kawasan irigasi. Namun, ada pula Subak Gede yang anggotanya adalah subak-subak yang memiliki sistem irigasinya masing-masing. Subak Gede dipimpin oleh Pekaseh Gede. Lebih jauh lagi, untuk tujuan koordinasi dalam kegiatan-kegiatan subak di sepanjang suatu aliran sungai, beberapa subak membentuk organisasi federasi subak yang disebut Subak Agung yang dipimpin oleh seorang Sedahan Agung.

Seluruh sistem organisasi subak tersebut dirancang dan diwarisi secara turun-temurun oleh masayarakat petani di Bali untuk kelancaran pembagian air di lahan persawahan yang merupakan penyangga utama kehidupan masyarakat dan adat istiadat di selama berabad-abad. Ya, sistem pembagian air itu merupakan cara bersama untuk berbagi kebahagiaan.

Sumber: “Subak Sitem Irigasi Tradisional di Bali”, Upada sastra , 1993.

Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali

oleh aspaba · Budaya Bali
No Comments »

Subak adalah suatu masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Lingkungan topografi dan kondisi sungai-sungai di Bali yang curam menyebabkan sumber air untuk suatu komplek persawahan petani umumnya cukup jauh. Kadang-kadang untuk dapat menyalurkan air ke sebuah kompleks persawahan, mereka harus membuat terowongan menembus bukit cadas. Kondisi inilah yang menyebabkan para petani Bali menghimpun diri dan membentuk organisasi Subak.

Subak dipimpin oleh seorang Kelian Subak atau Pekaseh yang mengoordinasi pengelolaan air berdasarkan tata tertib (awig-awig) yang disusun secara egaliter. Saat irigasi berjalan baik, mereka menikmati kecukupan air bersama-sama. Sebaliknya, pada saat air irigasi sangat kecil, mereka akan mendapat air yang terbatas secara bersama-sama. Jadwal tanam dilaksanakan secara ketat. Waktu tanam ditetapkan dalam sebuah kurun tertentu. Umumnya, ditetapkan dalam rentang waktu dua minggu. Petani yang melanggar akan dikenakan sanksi.

Untuk memperoleh penggunaan air yang optimal dan merata, air yang berlebihan dapat dibuang melalui saluran drainasi yang tersedia pada setiap komplek/blok sawah milik petani. Sementara itu, untuk mengatasi masalah kekurangan air yang tidak terduga, mereka melakukannya dengan cara-cara seperti:

– saling pinjam meminjam air irigasi antar anggota subak dalam satu subak, atau antar subak yang sistemnya terkait
– melakukan sistem pelampias, yakni kebijakan untuk memberikan tambahan air untuk lahan sawah yang berada lebih di hilir. Jumlah tambahan air ditentukan dengan kesepakatan bersama,
– melakukan sistem pengurangan porsi air yang harus diberikan pada suatu blok/kompleks sawah milik petani tertentu, bila sawah tersebut telah mendapatkan tirisan air dari suatu kawasan tertentu di sekitarnya

Jika debit air irigasi sedang kecil, petani anggota subak tidak dibolehkan ke sawah pada malam hari, pengaturan air diserahkan kepada pengurus Subak. Dengan demikian distribusi air berjalan secara adil.

Setiap Subak memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewi kemakmuran dan kesuburan, Dewi Sri.

Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan.

Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.

Para ilmuwan yang meneliti Subak antara lain Clifford Geertz dan J. Stephen Lansing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.

Baris Cina, Tari Sakral di Sanur dan Kuta

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh : AgungBawantara

Tari Baris Cina merupakan jenis tarian Bali yang diduga kuat mendapat pengaruh budaya Tionghoa. Selain dari namanya, hal itu terlihat dari gerakan dan tata busananya. Gerakan tarian ini lebih menyerupai gerakan pencak silat atau kung fu. Hampir tak ada jejak pepakem (gerak dasar) tari Bali dalam tarian itu. Busana yang dikenakan para penarinya pun unik. Mereka mengenakan setelan celana panjang dan baju berlengan panjang dan berselempang kain. Di pura tertentu, penarinya juga mengenakan kacamata hitam ala juragan Tionghoa. Sebagai penutup kepala, mereka mengenakan topi bundar, bukan udeng atau gelungan sebagaimana yang dikenakan oleh penari tarian maskulin Bali pada umumnya. Senjata yang dibawanya pun bukan keris, melainkan pedang.

Baris Cina ditarikan oleh 18 laki-laki yang dibagi atas dua kelompok. Sembilan orang baris putih, dan sembilan orang baris selem (hitam). Keduanya melambangkan rwa bhineda yaitu dua kutub berseberangan yang selalu ada di alam semesta ini. Dalam terminologi Thionghoa disebut dengan Yin-Yang.

Musik pengiring Baris Cina adalah Gong Beri yaitu seperangkat instrumen yang terdiri dari sungu, tawa-tawa ageng, tawa-tawa alit, kempli, kajar, bebende, klenang, cenceng, beduk serta gong ber dan gong bor. Gong Ber dan Gong Bor keduanya merupakan gong yang tak bemoncol di tengah-tengahnya. Ketika dipukul keduanya mengeluarkan bunyi sember, tidak merdu seperti gong yang bermoncol.

Begitu ditabuh, perangkat gamelan tersebut menimbulkan bunyi-bunyian yang membakar semangat. Persis seperti musik perang. Apalagi sebelum keseluruhan orkestra dimainkan, musik diawali dengan kumandang sungu (alat musik tiup dari kerang) yang terkesan seperti sangkakala peperangan.

Dalam buku Evolusi Tari Bali, pakar etnonusikologi dan pengamat tari Bali Profesor I Made Bandem memperkirakan tari Baris Cina tumbuh sekitar tahun 835, saat Prasasti Blanjong dituliskan. Tapi dia tak menjelaskan apakah Tari Baris Cina dan Gong Beri lahir pada saat yang bersamaan sebagai satu kesatuan atau dalam periode yang berbeda kemudian dikawinkan.

Tarian Baris Cina kini menjadi tarian sakral di Pura Dadia Banjar Kelod (Renon), Pura Mertasari Belanjong (Sanur), Pura Segara (Sanur), Pura Gerua Delod Peken-Intaran (Sanur), dan Pura Petitenget (Kuta).

Joged, Tango Khas Bali dengan Banyak Ragam

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh: Agung Bawantara

Dibandingkan dengan Tari Legong dan Kecak, Joged kalah pamor dalam brosur-brosur pariwisata Bali. Tapi di Bali, tari ini termasuk tari yang populer. Tari ini merupakan tari pergaulan yang memiliki pola gerak lincah, dinamis dan bebas. Yang dimaksud bebas di sini adalah bahwa gerak-gerak dalam tarian tersebut tidak terikat oleh pakem dan komposisi yang ketat. Penari dapat melakukan banyak improvisasi, terutama saat meladeni partisipasi penonton (laki-laki) yang turut menari dengannya. Tari ini biasanya dipentaskan untuk suasana sukacita pada musim panen dan hari-hari besar.

Dasar gerak tari ini adalah gerakan tari Legong dan Kekebyaran. Ada banyak macam tari Joged di Bali, yaitu Joged Bumbung, Joged Pingitan, Joged Gebyog, Joged Gadrung, Joged Leko, dan Joged Dadua. Kecuali Joged Pingitan, semua pertunjukan Joged selalu ditarikan secara berpasangan. Biasanya setelah menarikan tarian pembuka, penari akan nyawat (memilih) penonton laki-laki untuk turut menari (ngibing) bersamanya. Bagian tersebut dinamakan paibing-ibingan. Ditilik dari penampilannya yang berpasangan, sepintas tari Joged dapat disejajarkan dengan Dansa di Eropa atau Tango dan Salsa di Amerika Latin.

Joged Bumbung
Jenis ini adalah yang paling populer di Bali. Musik pengiringnya adalah gamelan tingklik bambu berlaras slendro yang disebut Gamelan Gegrantangan. Tarian ini muncul pada tahun 1946 di Bali Utara lalu menyebar hampir ke semua desa di Bali.

Ketika acara televisi semakin marak dengan program hiburan, kepopuleran tari Joged pun merosot. Apalagi saat hiburan musik pop Bali semakin menyuat, banyak kelompok Joged Bumbung berguguran karena tak memiliki kesempatan berpentas. Dalam kondisi seperti itu ada kelompok Joged yang mengambil jalan mudah untuk merebut kembali pamornya yakni dengan menampilkan goyangan erotik saat menari. Namun, cara kontroversial itu tak bertahan lama. Masyarakat menghujatnya sebagai joged porno. Sementara, di panggung-panggung musik pop, grup-grup sexy dancer tampil hampir setiap pekan terutama di kawasan Denpasar dan Kuta dengan penampilan yang lebih vulgar dan lebih erotis.

Kini Joged Bumbung kembali ke gaya pementasannya semula yang tak terlalu vulgar. Untuk bertahan hidup, mereka pentas secara berkala di hotel-hotel di Kawasan Sanur, Kuta, Nusa Dua dan Ubud.

Joged Pingitan
Joged ini diduga muncul di Bali sekitar tahun 1884. Semula merupakan tarian hiburan bagi raja, dan konon penari-penarinya adalah para selir.

Dinamakan Joged Pingitan karena di dalam pementasan tarian ini ada hal-hal pingit (tabu) yaitu pengibing (penari laki-laki) hanya diperbolehkan menari mengimbangi gerakan penari Joged. Dia sama sekali tidak diperbolehkan menyentuh bagian tubuh mana pun dari si penari Joged. Jika dilanggar, diyakini akan menyebabkan hal-hal yang mencelakkan penari atau pengibing itu sendiri.

Berbeda dengan Joged Bumbung, dalam pementasannya Joged Pingitan membawakan suatu lakon dengan iringan gamelan tingklik bambu berlaras Pelog (lima nada). Gamelan tersebut terdiri dari sepasan rindik besar (pangugal), sepasang rindik barangan berbilah 14 atau 15, sepasang Jegogan, sebuah kemplung, sebuah kajar, sebuah kemodong, satu atau dua buah seruling serta sebuah kendang kekrumpungan.

Kecuali pada kendang dan seruling, untuk memainkan instrument di atas, penabuh mempergunakan dua buah panggul (alat pukul) dengan teknik kakilitan atau kotekan. Tabuh-tabuh yang biasa dimainkan meliputi: Bapang Gede, Condong, Legong, Pacalonarangan dan Gandrangan. Di antara semua tabuh itu, Gandranganlah yang paling meriah karena bisa ditarikan secara bebas dan improvisasi. Tabuh-tabuh lain cenderung formal seperti yang terdapat dalam Legong Kraton.

Lakon yang biasa dibawakan dalam pementasan Joged Pingitan adalah kisah Prabu Lasem dan Calonarang.

Saat ini penari Joged Pingitan sulit di temukan. Beberapa yang masih aktif dapat dijumpai di Gianyar, Badung dan Denpasar. Maestro Joged Pingitan adalah Ni Ketut Cenik. Sayang, Sang Maestro keburu meninggal dunia sebelum ada generasi baru yang benar-benar bisa mengambil alih kepiawaiannya.

Joged Gebyog
Jenis tari joged yang diiringi dengan bumbung gebyog yang ritmis berlaras Slendro, jenis joged ini hanya terdapat didaerah Bali bagian barat yaitu di kabupaten Jembrana. Tari Joged Gebyog ini menggambarkan ibu-ibu rumah tangga yang menumbuk padi dengan riang-gembira. Masing-masing penari membawa sebatang bambu yang menggambarkan sebagai alu untuk menumbuk padi. Bambu-bambu tersebut diketukkn pada lesung kayu sehingga menghasilkan irama ritmis dan indah untuk mengiringi tarian Joged yang kemudian melibatkan penonton (laki-laki) untuk menari berpasangan dengannya (ngibing).

Saat ini sangat terbatas grup tari yang bisa mementaskan Joged Gebyog ini. Satu dari yang sedikit tersebut adalah Sanggar Tari Werdhi Sentana, Jembrana, asuhan Gusti Ketut Sudana.

Joged Gandrung
Kalau joged jenis lain ditarikan oleh perempuan, Joged Gandrung ditarikan oleh laki-laki yang berhias dan berpakaian perempuan. Joged Gandrung diiringi seperangkat Gamelan Tingklik berlaras pelog yang terbuat dari bambu. Saat ini grup Joged Gandrung sangat jarang ditemui. Hanya di beberapa desa di Gianyar, Badung dan Denpasar masih tersisa beberapa sekaa (grup) Joged Gandrung. Itu pun semua penarinya perempuan, bukan laki-laki seperti pakem aslinya.

Joged Leko
Jenis joged ini nyaris sama langkanya dengan Joged Pingitan. Joged yang diduga muncul pada tahun 1930-an itu kini hanya terdapat di tiga desa yakni Desa Sibang Gede (Badung), Desa Tunjuk (Tabanan) dan Desa Pedem (Jembrana).

Joged jenis ini menampilkan gerak tarian menyerupai gerak tari Legong Keraton sebagai pembuka, lalu dilanjutkan dengan gerak bebas saat bagian pengibing-ibingan.

Dalam sebuah pementasan, penampilan Joged Leko diawali dengan Condong yang dibawakan oleh seorang penari dengan gerak-gerak abstrak, lalu dilanjutkan dengan Kupu-kupu Tarum yang dibawakan oleh sepasang penari untuk menggambarkan kemesraan sepasang kupu-kupu yang bercengkerama di sebuah taman bunga.

Usai Kupu-kupu Tarum, penampilan dilanjutkan dengan Onte yang juga dibawakan secara berpasangan. Bagian ini mengisahkan sepasang muda-mudi sedang asyik memadu kasih. Disusul kemudian dengan Goak Manjus yang menggambarkan sepasang burung gagak sedang mandi dengan riang di sebuah telaga.

Terakhir, tampillah Joged yang dibawakan beberapa penari yang tampil secara bergiliran. Setiap penari, menunjuk (nyawat) seorang laki-laki dari kerumunan penonton yang diajaknya sebagai pasangan menari dalam beberapa putaran. Setiap penari Joged biasanya melakukan tiga sampai lima putaran paibig-ibingan, sebelum digantikan oleh penari Joged yang lain.

Yang menarik, pada saat tertentu Penari Joged tiba-tiba trance dan mengamuk. Biasanya hal tersebut terjadi jika Joged Leko menampilkan kisah Calonarang sebagai inti pertunjukannya. Trance umumnya terjadi saat adegan perkelahian ditampilkan.

Joged Dadua
Joged ini hanya terdapat di Banjar Suda Kanginan (Tabanan). Sering juga disebut Joged Duwe (‘e’ di belakang diucapkan seperti dalam kata ‘fase’). Tarian ini merupakan tarian ritual keagamaan di Pura-Pura yang terdapat di wilayah Banjar Suda Kanginan. Diperkirakan Joged ini lahir sebelum tahun 1920-an di Puri Kediri.

Mulanya, joged ini merupakan tarian hiburan biasa. Lama kelamaan, entah kapan mulainya, para Penari Joged ini seperti mendapat kekuatan supratural untuk menari dalam keadaan trance. Sejak saat itu, joged ini pun dinamakan dengan joged pingitan yang tidak boleh ditarikan di tempat-tempat yang dianggap tidak suci (leteh/cuntaka) dan hanya boleh ditarikan pada upacara-upacara tertentu.

Awalnya, Joged Dadua ini diiringi dengan seperangkat gamelan gong kebyar yang tak lengkap yang diistilahkan dengan Gong Sibak. Sekitar tahun 1940-an gong pengiring joged tersebut dilengkapi menjadi satu barung (set) gong.

Seperti namanya, penari Joged Dadua (dadua = dua) terdiri dari dua penari perempuan berusia kanak-kanak (belum menstruasi). Dua penari tersebut dipilih oleh warga dengan syarat mau belajar menari serta berparas elok. Begitu penari tersebut menstruasi, maka warga segera mencari penggantinya untuk dilatih dan diinisiasi secara spiritual.

Penari Joged Dadua mengenakan kostum Legong Keraton lengkap dengan kipasnya. Urutan penampilannya ada tiga palet (babak). Diawali dengan Palet Papeson-Lalegongan yang serupa dengan tarian awal Legong Keraton. Selanjutnya disusul dengan Palet Palayon yang juga mirip dengan gerakan Legong Keraton. Terakhir, Palet Ibing-ibingan menghadirkan satu atau dua pengibing yang telah ditentukan orangnya dan biasanya dari kalangan sutri. Tarian akan berakhir bila penabuh telah mendapat isyarat berhenti dari para sutri.

Kelompok Joged Dadua yang masih eksis saat ini antara lain Sekaa (grup) Joged Banjar Suda Kanginan, Desa Nyitdah, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan.

Joged Bisama
Joged ini juga tergolong tarian hiburan yang mulai disakralkan. Tak banyak informasi mengenai tarian yang hanya terdapat di Desa Bongan Gede (Karangasem) ini.

Sumber:
-Joged, babadbali.com
-Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali, Prof. Dr. I Wayan Dibia
-Dari Parade Seni di Ksirarnawa –Kekhasan Daerah Perkaya Keragaman Budaya, Bali Post Senin Pon, 27 Desember 2004
-‘Kerauhan’ dalam Kesenian Bali, Masuknya ‘Memedi’ hingga Dewa, Kadek Suartaya Bali Post Minggu Wage, 17 April 2005

Legong Keraton, Bermula dari Meditasi Raja Sukawati

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh : Agung Bawantara

Ini sebuah catatan menarik mengenai asal-muasal tari Legong. Saya temukan pada sebuah katalog festival pelegongan yang diselenggarakan di Denpasar, Mengwi, dan Peliatan pada 1995. Catatan itu dibuat oleh Prof. Dr. I Made Bandem, Sekretaris Yayasan Walter Spies yang menyelenggarakan acara tersebut. Dalam catatan tersebut Prof. Bandem mengutarakan bahwa lahirnya Legong bermula dari hasil pertapaan Raja Sukawati, I Dewa Agung Made Karna. Kisah tersebut tercatat dalam Babad Dalem Sukawati yang disurat sekitar awal abad ke-19. Saat itu wilayah Sukawati, Gianyar, memang sudah masyur sebagai daerah yang memiliki penari-penari yang sangat handal.

Menurut babad tersebut, suatu hari I Dewa Agung Made Karna yang dikenal memiliki kemampuan spiritual yang tinggi, melakukan pertapaan di Pura Yogan Agung di desa Ketewel, dekat Sukawati. Pada saat itu hadirlah dalam ciptanya beberapa sosok bidadari-bidadari melayang di angkasa. Para bidadari yang cantik jelita itu memperagakan tarian yang sangat menakjubkan. Mereka berbusana penuh warna. Kepala mereka bergelung tatahan emas penuh manikam yang cerlang-cemerlang.

Begitulah, saat bangkit dari tapanya, sang raja memerintahkan penguasa desa Ketewel untuk mengumpulkan para seniman di sana dan meminta mereka membuat beberapa topeng sekaligus menciptakan tarian berdasarkan penglihatan (cipta) sang raja.

Beberapa bulan kemudian, lahirlah sembilan topeng sebagai wujud sembilan bidadari dalam mitologi Hindu. Dua penari Sanghyang kemudian diperintahkan untuk menarikan topeng tersebut. Penari Sanghyang adalah penari-penari muda pilihan yang tidak hanya berbakat melenggokkan tubuh, melainkan juga memiliki kepekaan untuk trance, dan belum menstruasi. Tari topeng yang dipertunjukkan oleh kedua penari Sanghyang itu dinamakan dengan Sang Hyang Legong. Tarian ini –dengan topeng aslinya— hingga kini masih digelar di Pura Yogan Agung setiap upacara Piodalan yang diselenggarakan setiap 210 hari sekali di pura tersebut.

Terinspirasi oleh Sanghyang Legong, tak berapa lama kemudian sebuah kelompok tari dari Blahbatuh yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Jelantik melahirkan sebuah tarian baru dalam gaya yang serupa. Bedanya, semua penarinya adalah laki-laki dan tidak mengenakan topeng. Tarian ini dinamakan dengan Nandir.

Dalam sebuah acara, Raja Sukawati menyaksikan pertunjukan Nandir, dan amat terkesan. Beliau kemudian memerintahkan punggawanya untuk mengumpulkan para seniman di Sukawati untuk membuta tarian serupa untuk para gadis muda di istananya. Hasilnya adalah tarian Legong yang kita kenal sekarang.

Rupanya, pesona para penari Legong jauh lebih memukau daripada penari Nandir. Maka lambat laun Nandir pun menghilang dan punah. Penari Nandir terakhir adalah I Wayan Rindi dari Denpasar telah meninggal pada tahun 1976.

Pada pertengahan 1930-an hingga 1960-an beberapa tarian tunggal baru muncul. Tarian-tarian tersebut antara lain Panji Semirang dan Margapati. Karena kekurangan terminologi, tarian-tarian tersebut pun disebut Legong. Untuk membedakannya, legong yang asli diberi nama Legong Kraton.

Beberapa Komposisi Legong

Pelayon – tidak memiliki cerita khusus, abstrak
Lasem – mengisahkan kegemulaian Putri Rangesari
Kuntir – mengisahkan pertarungan dua kakak-beradik memperebutkan seorang perempuan jelita
Jobog – menisahkan Subali dan Sugriwa yang memperebutkan Cupu manic Astagina
Kuntul – menisahkan tarian dua ekor burung Kuntul
Prabangsa – merupakan fragmentasi kisah Calon Arang
Legod Bawa – mengisahkan Dewa Wisnu dan Dewa Indra beradu kekuartan dengan Dewa Siwa. Tarian ini menggunakan topeng beruang dan garuda.
Kupu-kupu Tarum – mengisahkan sepasang kupu-kupu bercengkerama di taman
Candra Kanta – mengisahkan keharmonisan antara rembulan dan matahari
Semaradhana – mengisahkan Dewa Siwa yang tengah melakukan yoga Samadhi
Goak Macok – mengisahkan dua ekor gagak yang tengah berburu telur ayam kampung
Bapang – abstrak
Durga abstrak
Sudarsana – termasuk cerita Calonarang
Raja Cina* – mengisahkan percintaan sepasang kekasih
Bramara* – mengisahkan percintaan sepasang kumbang
Calonarang* – Cuplikan kisah Calonarang
Gadung Melati* – menggambarkan kemolekan bunga-bunga di taman
Catatan:
Komposisi tari yang bertanda * adalah komposisi yang hingga tahun 1995 belum direkonstruksi.

Topeng Sidakarya, Tarian untuk Kesempurnaan Ritual

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh : Agung Bawantara

Topeng Sidakarya adalah bagian dari pementasan tari topeng yang mengiringi sebuah upacara besar di Bali. Topeng Sidakarya dianggap sebagai pelengkap upacara-upacara tersebut. Topeng ini tampil sebagai pamungkas tari persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan bersama yang dipimpin oleh Sulinggih dilakukan.

Pementasan Topeng Sidakarya ini bermula dari sebuah peristiwa menarik yang terjadi saat masyarakat Bali menggelar upacara besar di Pura Besakih pada zaman kekuasan Raja Dalem Waturenggong sekitar abad XV. Saat itu, datang seseorang dari Keling, mencari penanggungjawab upacara (Manggala Karya) tersebut yang tak bukan adalah sahabatnya.

Karena rupa dan penampilannya yang buruk, saat menanyakan keberadaan sang Sahabat, tamu Keling tersebut diusir oleh oarng-orang Besakih agar tak “mengotori” proses upacara. Tamu Keling itu murka dan melontarkan kutukan agar upacara tidak berjalan sukses.

Upacara besar itu pun gagal. Sang Manggala Karya menyesali tindakan orang-orang sekitarnya yang bertindak gegebah. Ia mencari sang tamu dan memintanya menyabut kutukan. Sebagai ungkapan penyesalan, Sang Manggala Karya memberikan sahabat Kelingnya itu tempat tinggal di desa Sidakarya (Denpasar Selatan). Dia kemudian dikenal dengan julukan Dalem Sidakarya.

Sejak saat itu, untuk kesuksesan penyelenggaraan ritual, pada setiap upacara besar di Bali, Dalem Sidakarya selalu dihadirkan dalam pementasan tari topeng. Atau, kehadirannya digantikan dengan tirta (air suci) yang diambil dari Pura Dalem Sidakarya yang terletak di Denpasar Selatan.

Catatan: Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber
Foto-foto: Widnyana Sudibia

Gambuh

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh : Agung Bawantara

Gambuh adalah tarian dramatari Bali yang dianggap paling tinggi mutunya dan merupakan dramatari klasik Bali yang paling kaya akan gerak-gerak tari sehingga dianggap sebagai sumber segala jenis tari klasik Bali.Diperkirakan, Gambuh ini muncul sekitar abad ke-15 yang lakonnya bersumber pada cerita Panji. Gambuh berbentuk total theater karena di dalamnya terdapat jalinan unsur seni suara, seni drama & tari, seni rupa, seni sastra, dan lainnya.

Pementasannya dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya. Diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya / Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog, umumnya bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya dan kasar.

Di Bali, hanya sedikit desa yang memiliki kesenian Gambuh. Salah satu desa yang terkenal dengan kesenian Gambuhnya adalah Desa Pedungan, Denpasar. Gambuh ini merupakan kelompok seni istana yang berkaitan erat dengan Puri Satria dan Puri Pemecutan. Ia mendapat perlindungan dan pengayoman dari penguasa di kedua puri tersebut. Besarnya perhatian raja pada kesenian Gambuh pada waktu itu menyebabkan Gambuh Pedungan tumbuh dan berkembang dan melahirkan penari-penari Gambuh handal. Satu di antara penari Gambuh yang sangat terkenal adalah I Gede Geruh (almarhum).

Kini, dengan semakin memudarnya kekuasaan puri, Gambuh pun menjadi milik kelompok atau banjar yang bersangkutan. Kelompok Seni Gambuh yang masih aktif hingga kini terdapat di desa Batuan (Gianyar), Padang Aji dan Budakeling (Karangasem), Tumbak Bayuh (Badung), Pedungan (Denpasar), Apit Yeh (Tabanan), Anturan dan Naga Sepeha (Buleleng).

Sumber:
“Selayang Pandang Seni Pertunjukan Bali” (I Wayan Dibia, Guru Besar ISI Denpasar)
“Masa Keemasan Kesenian Gambuh” (Wardizal, Dosen Seni Karawitan ISI Denpasar)

Foto:
Widnyana Sudibya

Sanghyang,Tari Bali Purba

oleh aspaba · Tari Bali
No Comments »

Oleh: Agung Bawantara

Di Bali, saat ini, masih hidup beberapa tarian sakral yang hanya dapat disaksikan pada saat-saat khuusus. Tarian tersebut antara lain tari Sanghyang yang ditarikan dalam rangkaian sebuah upacara suci. Jarang sekali tari macam ini dipertunjukkan sekedar sebagai sebuah tontonan belaka, kecuali ada permintaan khusus dengan syarat tertentu.

Soal tari, di Bali terdapat puluhan jenis tarian. Oleh pakar tari Prof. I Made Bandem, semua tari itu dipilah ke dalam tiga kelompok besar yakni tari Wali(sakral),bebali (dipertunjukan dalam rangkaian upacara), dan balih-balihan (semata-mata untuk hiburan). Nah, tari Sanghyang termasuk ke dalam kelompok tari Wali.

Tari Sanghyang merupakan “purba” dengan gerak dan lagu pengiring yang sangat sederhana. Namun,simbol-simbol dalam kesederhanaan itu mempu membuat penarinya kerauhan (trance) dan bergerak seperti tokoh yang dilakonkan. Misalnya,seperti bidadari, babi hutan, monyet, atau kuda. Tari ini adalah warisan budaya Pra-Hindu yang dimaksudkan sebagai penolak bahaya dengan cara membuka komunikasi spiritual antara manusia dengan mahluk-mahluk gaib untuk menjaga keseimbangan semesta.

Tari Sanghyang dibawakan oleh penari laki-laki maupun perempuan dengan iringan paduan suara yang menyanyikan tembang-tembang pemujaan. Di beberapa daerah, seperti di Sukawati-Gianyar, tari ini juga diiringi dengan Gamelan Palegongan.

Di dalam Tari Sanghyang, ada tiga unsur penting yang wajib hadir yaitu asap/ api, Gending Sanghyang dan medium (orang atau boneka).Penyelenggaraannya melalui tiga tahap penting diawali dengan nusdus yaitu upacara penyucian medium dengan asap/api, kemudian dilanjutkan dengan masolah. Pada tahap ini, penari yang sudah trance mulai menari. Tahap terakhir, ngalinggihang yakni mengembalikan kesadaran medium dan melepas roh yang memasuki dirinya agar kembali ke asalnya.

Sanghyang Jaran

Tari ini ditarikan oleh seorang laki-laki. Penari tersebut mengendarai sebuah kuda-kudaan dari pelepah kelapa. Penari biasanya trance oleh kehadiran roh kuda tunggangan dewa. Keadaan itu terjadi setelah para penynayi pengiring melanunkan gending sanghyang sambil berkeliling dengan mata terpejam. Begitu trance, si penari akan berjalan dan berlari-kecil. Kakinya yang telanjang akan menginjak-injak bara api batok kelapa yang terhampar di tengah arena.

Tari Sanghyang Jaran biasanya digelar pada saat situasi krisis atau saat masyarakat dalam keadaan prihatin. Misalnya, saat mereka terserang wabah penyakit atau kejadian lain yang meresahkan.

Selain Sanghyang Jaran (Kuda), beberapa jenis tari Sanghyang yang hingga kini masih hidup di Bali adalah:Sanghyang Dedari(Bidadari), Sanghyang Deling (Boneka), Sanghyang Sampat (Sapu), Sanghyang Bojog (Monyet), dan Sanghyang Celeng (Babi Hutan).

Foto Sanghyang Jaran: I Nyoman Wija (Radar Bali)